Kajian Hukum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Masih Jarang Peminat
Jumat, 17 Januari 2020 15:19 WIB

Dosen+Fakultas+Hukum+UAD

KEPALA Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Roni Dwi Susanto mengatakan pengadaan barang/jasa pemerintah menduduki peringkat kedua tindak pidana yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belanja barang/jasa pemerintah memang sangat besar, total antara tahun 2015-2019 sebesar Rp. 5.335 triliun  sehingga tidak mengherankan jika sektor ini menjadi salah satu “incaran” para koruptor.

ICW mencatat, pada tahun 2017 saja ada 241 kasus korupsi yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Jumlah ini naik dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 195, sehingga trennya selalu naik.

Selama ini, kajian dan pengembangan hukum di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah belum maksimal, dari segi regulasi hanya didasarkan pada Perpres No. 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Perlu dipahami bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah adalah "seni" yang kompleks, terutama dalam bidang hukum. Persoalan dalam pengadaan barang dapat masuk ke wilayah hukum administrasi, perdata maupun pidana secara sekaligus maupun sendiri-sendiri.

Kompleksitas inilah yang membutuhkan sinergi antara akademis, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Jangan sampai persaingan pelaku usaha terhadap pengadaan barang/jasa mendorong mereka untuk melakukan fraud atau korupsi.

Sebenarnya, sistem hukum Indonesia sudah memiliki banyak undang-undang untuk mengawal dan mendorong proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang bersih. Seperti, UU No. 24/2014 tentang Administrasi menjadi landasan terhadap pelanggaran administrasi seperti kesewenang-wenangan, UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 jo tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk kasus korupsi, UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyangkut adanya monopoli dan persekongkolan, juga KUHPer yang membahas perjanjian antara pelaku usaha dan pemerintah.

Regulasi tersebut berpotensi untuk tumpang tindih, terutama dalam memahami arti "perbuatan melawan hukum" yang selalu diasosiasikan sebagai perbuatan pidana, padahal perbuatan melawan hukum bisa berarti merupakan pelanggaran administrasi, monopoli/persekongkolan, maupun perdata.

Disini kemudian fungsi dan peran dari kajian akademik menjadi sangat penting, pengembangan kajian teoritik menjadi urgent karena akan berdampak pada domain kewenangan masing-masing instansi.

Jika mengacu pada Pasal 77 Perpres No. 18/2018, maka setiap terjadi dugaan pelanggaran proses pengadaan barang/jasa pemerintah harus melalui Aparat Pengawas Intern bukan langsung ke Aparat Penegak Hukum. Politik hukum ini sebenarnya ingin mengarahkan setiap dugaan pelanggaran tidak lagsung serta merta sebagai delik pidana, melainkan administrasi, keperdataan ataupun persekongkolan/monopoli.

Persoalan hukum tersebut seharusnya diimbangi dengan banyaknya kajian terhadap pengembangan sistem hukum pengadaan barang/jasa pemerintah, namun minat civitas akademika di fakultas hukum masih minim terhadap hal ini.

Dukungan universitas sebagai lembaga pendidikan, penelitian dan pengabdian menjadi sangat penting terhadap hal ini, mengingat pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi salah satu isu korupsi utama di Indonesia. Perlu ada sinergi antara pemerintah dengan dunia akademisi sehingga mampu mendorong pengembangan hukum di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama dengan pengajaran mata kuliah ini di kelas-kelas fakultas hukum.

Harapannya, pengawasan dan kontrol terhadap pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi fokus dunia akademis, baik dosen, peneliti, maupun mahasiswa sehingga menciptakan iklim yang sehat dan jauh dari fraud, korupsi, persekongkolan/monopoli maupun perbuatan melawan hukum lainnya di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah.

  • lham Yuli, S.H., M.H., C.L.A., C.M.B. - Dosen Fakultas Hukum UAD & Managing Partner Isdiyanto Law Office. Email: Ilhamisdiyanto@gmail.com

 

 

COMMENTS
Belum ada komentar dari pembaca

Opini

Popular News