YOGYAKARTA (wartakonstruksi.com) – Belum lama berdiri, kiprah Balai Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi (BP2JK) DIY mulai dirasa berat oleh kontraktor lokal DIY. Alih-alih memiliki keberpihakan terhadap kontraktor lokal, BP2JK sepertinya lebih pro kontraktor luar untuk proyek-proyek dengan sumber dana dari APBN.
Belum lama ini, BP2JK baru saja mengumumkan pemenang lelang proyek Prasarana Pengendali Banjir Sungai Opak dan anak-anak sungainya. Proyek denga pagu Rp 21,7 miliar itu dimenangkan oleh PT. Permata Maju Jaya dengan penawaran sebesar Rp 17,3 miliar.
Baca juga
Penawaran perusahaan asal Kebayoran Lama, Jakarta Selatan ini sama persis dengan penawaran yang diajukan perusahaan lokal, PT. Karya Cipta Mulia. Yang menarik, perusahaan ini pada tahun lalu, juga memenangkan proyek bernilai Rp 80 miliar pada paket Sistem Kesugihan 2 di Cilacap, Jawa Tengah yang juga dilelangkan di BP2JK DIY.
Kisah tragis kontraktor lokal DIY berlanjut di lelang proyek Pembangunan SPALD-T Depok Tahap I. pada proyek dengan pagu Rp 40 miliar ini, lagi-lagi kontraktor ibukota yang kebagian kuenya. Lelang dimenangkan PT. Karaga Indonusa Pratama asal Pademangan, Jakarta Utara dengan penawaran sebesar Rp 31,9 miliar.
Kondisi ini tentu memprihatinkan bagi kontraktor lokal yang cuma jadi penonton ketika ada proyek dengan dana APBN yang digarap di wilayahnya. Dari sisi ini aspek pemerataan pembagian kue proyek konstruksi seperti semangat yang digaungkan Presiden RI Joko Widodo, tidak terwujud.
Celakanya lagi, belakangan muncul desas-desus bila perusahaan-perusahaan itu bisa menang karena dibawa eks pejabat tinggi di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum. Tentu saja kabar ini masih perlu dibuktikan kebenarannya. Apalagi, untuk memastikan kebenaran bahwa eks pejabat itu tidak hanya membawa satu bendera saja, melainkan 3-4 bendera.
Di luar itu, BP2JK DIY semestinya juga bisa lebih jeli melihat kondisi, dan memiliki sense locality. Mengapa begitu, karena perusahaan-perusahaan luar itu tidak memberikan kontribusi apa pun bagi masyarakat lokal manakala ada kesulitan yang dihadapi. Perusahaan akan pergi begitu proyek selesai dikerjakan.
Buktinya, tidak ada satu pun perusahaan luar DIY khususnya dari Surabaya dan Jakarta termasuk BUMN yang menunjukkan andilnya saat warga DIY butuh bantuan dalam upaya menekan penyebaran Covid-19. Justru yang hadir bersama warga adalah perusahaan lokal yang tetap bertahan dengan menggarap proyek bernilai kecil.
Di saat wabah Covid-19 merajalela seperti sekarang ini, jangankan proyek kecil, proyek kelas pengadaan langsung pun tidak ada karena seluruh proses lelang di daerah disetop. Sehingga harapannya pada proyek dari dana APBN. Sayangnya, di sini pun kontraktor lokal gigit jari karena yang ‘diberi makan’ justru kontraktor luar yang tidak akan memberi kontribusi apa pun bagi warga lokal.
Soal lain lagi yang juga diabaikan BP2JK adalah status Jakarta yang merupakan zona merah wabah Covid-19. Dengan memenangkan perusahaan dari daerah itu, bukankah sama saja dengan mengimpor ODP alias mengimpor penyakit ke DIY yang lebih sedikit ODP dan PDP-nya.
Sebagai tambahan, satu proyek SPALD-T lainnya yaitu SPALD-T Bambanglipuro dengan pagu Rp 55 miliar juga dimenangkan perusahaan luar, yaitu PT. Indobangun Magatama yang beralamat di Padang, Sumatera Barat.
Penulis | : O-Kz |
Editor | : Dodi Pranata |