SLEMAN (wartakonstruksi.com) – Salah satu tujuan pembangunan pertanian adalah peningkatan eksport yang signifikan. Untuk mencapai tujuan ini harus didukung sumber daya manusia (SDM) pertanian yang professional, mandiri, dan memiliki jiwa entrepreneurship.
SDM seperti ini dapat dihsilkan melalui pendidikan vokasi. “Karena itu pendidikan vokasi itu mutlak untuk menciptakan SDM Pertanian yang profesional itu, yang mandiri itu, yang berjiwa entrepreneurship,” ucap Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Prof. Dr. Ir. Dedi Nursyamsi, M.Agr usai membuka Simposia Nasional dan Lokakarya Penelitian terapan di Hotel Royal Ambarrukmo, Rabu (17/11/2019).
Baca juga
Melalui pelatihan vokasi, kata Dedi, digenjot kemampuan kapasitas, pengalaman, kemampuan petani utamanya petani muda, petani milenial karena merekalah sebetulnya nanti yag merupakan generasi penerus pembangunan pembangunan pertanian dan mendongkrak pertanian nasional.
“mereka ini juga nantinya yang akan menjadi penerus untuk mendongkrak hasil produktivitas pertanian kita dan untuk menjamin kontinyuitas produk semua komoditas pertanian,” kata Dedi.
Generasi ini, lanjut dia, harus mampu mengimplementasikan teknologi pertanian dari hulu sampai hilir bagaimana cara tanam yang baik, bagaimana memelihata tanam yang baik, bagaimana panen yang baik belum cukup.
“Begitu panen jangan dulu dijual, diolah, sortir, baru dijual. Nah yang mampu menjual yang punya jiwa entrepreneur. Harus mampu baca pasar, harus punya kemampuan market intelijen dan seterusnya,” lanjutnya.
Lebih jauh dikatakan, SDM pertanian menjadi kunci untuk memaksimalkan ekspor. Dengan SDM Pertanian yang profesional, cita-cita bangsa untuk jadi lumbung pangan dunia pasti tercapai. “Tapi kuncinya SDM Pertanian,” tegasnya.
Dunia pertanian masih terlena kondisi alam Indonesia yang subur, padahal kondisi itu sudah tidak sepenuhnya benar. Sudah banyak wilayah di Tanah Air yang kondisi tanahnya tidak lagi subur. Tidak hanya itu, cost produksi pertanian di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan negara lain.
“Jadi tantangannya memang cukup berat karena kita ini masih terlena. Katanya tongkat kayu dilempar saja sudah bisa jadi tanaman, padahal itu sekarang tidak sepenuhnya benar. Di Sulawesi produksi kakao turun separuhnya, PH tanah sudah 4,6,” katanya.
Dr. Purwadi, Rektor Instiper Yogyakarta mengatakan, ada dua hal yang harus bisa dioptimalkan, yaitu kelimpahan teknologi dan kelimpahan sumber daya manusia bila itu dilihat sebagai potensi. “Perlu pemanfaatan teknologi untuk peningkatan produksi biomass,” katanya.
Penulis | : O-Kz |
Editor | : Dodi Pranata |